Rabu, 23 Desember 2009

MONEY GAME BERMUNCULAN

Departemen perdagangan mengungkapkan pertumbuhan perusahaan yang berpraktik money game. Bahkan, diantaranya memohon surat izin usaha penjualan langsung (SIUPL). “Depdag tidak mentolerir praktik money game yang berkedok usaha penjualan langsung atau pemasaran berjenjang (multi level marketing / MLM),” ujar kasubdil kelembagaan dan usaha perdagangan Muhammad Tarigan. MLM adalah bisnis yang memperdagangkan barang, dan memberikan komisi atau bonus kepada anggota atau mitra usaha atau distributor dari hasil penjualan mereka dan jaringan dibawahnya. Sedangkan praktik money game biasanya kalaupun ada produk yang dijual, tetapi sebatas kamuflase. Pemberian komisi kepada anggota bukan dari hasil penjualan barang, melainkan dari jumlah uang yang disetor. Misalnya, anggota yang menyetor uang Rp. 2,5 juta kemudian diberikan produk seharga Rp. 200.000,-. Jika anggota itu berhasil menjual satu produk, maka diberikan bonus Rp. 500.000,-. “Setiap hari ada saja perusahaan yang menjalankan bisnis money game ketempat kami untuk mintai izin (SIUPL), tapi kami tolak semua “, ujar Muhammad Tarigan. Dia menyatakan meski tidak menyetujui legalitas, praktik money game terus bermunculan di Indonesia. Ketika ditanyakan jumlah pelaku usaha money game, Tarigan menolak menjelaskan angka. “Yang penting banyak jumlahnya”. Tarigan mengatakan Depdag akan berpatokan pada definisi MLM dalam mengeluarkan SIUPL. Money game biasanya hanya menguntungkan pada anggota yang bergabung di awal pendirian usaha itu. Jika pasar sudah jenuh dan tidak ada anggota baru yang bisa direkrut, maka anggota terakhir akan mengalami kerugian. Akibatnya perusahaan tidak mampu lagi memperoleh uang untuk membayar sejumlah komisi bagi anggota yang telah terekrut. Mengingat dampak negative yang ditimbulkan Tarigan menyatakan instansinya terus memberikan sosialisasi dan temu wicara, agar masyarakat tidak sampai dirugikan karena terjerat usaha money game. Menurut dia, masyarakat golongan ekonomi kelas menengah yang biasanya paling banyak dijerat oleh praktik money game. Disamping itu, Depdag juga berkonsultasi MLM jika ada permohonan izin yang dicurigai diminta oleh bisnis money game yang berkedok MLM. Tarigan menjelaskan pihaknya tidak bisa melakukan tindakan atas praktik money game yang beroperasi di Indonesia, karena usaha mereka bukan tercakup dalam usaha yang diatur Depdag, atau bahkan dilarang oleh instansi pemerintah itu. Ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) Helmy Attamimi mengatakan organisasinya berupaya melaporkan kepada Depdag jika ada usah MLM yang disalahgunakan sebagai bisnis Money game.

· Menaggapi artikel diatas, saya tidak setuju dengan adanya bisnis money game tersebut karena akan sangat merugikan orang-orang atau anggota yang baru tergabung didalamnya, sementara akan makin menguntungkan anggota-anggota yang sudah lama bergabung dalam bisnis ini. Sebaiknya bisnis semacam ini dapat ditertibkan oleh Departemen Perdagangan layaknya seperti penertiban pedagang kaki lima yang ada dijalur hijau.

Sabtu, 31 Oktober 2009

Kultur / Budaya Organisasi sebagai Core Competence

Perusahaan-perusahaan cenderung lebih berfokus pada strategi-strategi, misalnya pemasaran (memasang target,iklan, event, etc), produksi, keuangan, dan sebagainya. Pada umumnya, mereka mengabaikan norma-norma, kebiasaan-kebiasaan , atau bahkan budaya suatu perusahaan. Hal tersebut menurut saya pribadi sangatlah lazim karena banyak faktor/unsur yang harus terus diperhatikan.

Pada kesempatan kali ini, saya ingin mencoba untuk mengingatkan (karena pada umumnya perusahaan telah mengetahui mengenai hal ini) bahwa budaya organisasi sangatlah penting bagi suatu organisasi.

Pertama, harus diketahui terlebih dahulu mengenai kelebihan dari suatu perusahaan terlebih dahulu (biasanya disebut dengan istilah core competences). Core competences merupakan suatu kelebihan yang ada dalam diri suatu perusahaan agar perusahaan tersebut dapat memiliki performance pada bidang tertentu yang melebihi perusahaan lain (biasanya disebut dengan istilah Distinctive Competences).

Core competences tersebut tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dirancang oleh perusahaan. Core competences datang dari 2 sumber (pada pembahasan kali ini), yaitu

  1. Specialized resources yang dapat berupa skill tertentu dari fungsi (functional skill) ataupun skill yang dimiliki oleh organisasi (biasanya skill dari top management).
  1. Coordination Abilities. Merupakan kemampuan suatu perusahaan dalam mengelola/ mengatur functional dan organizational resources agar resources tersebut dapat digunakan secara efektif dan efisien.

Menurut saya pribadi, dalam kedua sumber core competences perusahaan, terdapat 1 resource yang sangat memegang peranan penting, yaitu faktor manusia. Dan tentunya manusia hanya dapat bekerja secara maksimal apabila didukung oleh budaya perusahaan yang kondusif.

Robin Sharma dalam bukunya yang berjudul The Greatness Guide menulis demikian

“Salah satu keuntungan kompetitif yang paling dapat dipertahanan adalah mengembangkan apa yang saya sebut sebagai Budaya Kepemimpinan, karena semua tindakan perusahaan digerakkan oleh budaya. Kompetitor Anda akan meniru produk Anda jika produk itu bagus. Mereka juga akan meniru pelayanan Anda. Mereka akan meniru logo Anda, Namun mereka tidak akan pernah bisa meniru budaya Anda. Dan budaya Anda adalah satu-satunya hal yang membuat organisasi Anda Istimewa. Budaya organisasi Anda adalah sesuatu yang menentukan dan kemudian mendorong standar perilaku. Bagi saya, budaya adalah raja.”

Karena budaya-lah yang menentukan bagaimana perilaku perusahaan, maka kembangkanlah juga budaya yang baik sesuai dengan usaha Anda masing-masing.